본문 바로가기
리뷰 | Review

Aug. 5, 2009 - Koran Tempo

by 어떤 예술가 2012. 1. 3.

Aug. 5, 2009 - Koran Tempo (Indonesian Journal)
Review by Ibnu Rusydi (in Indonesian)
http://www.korantempo.com/

Google Transrate - http://translate.google.com/


[in Indonesian]
Komponis asal Jerman yang pernah lama tinggal di Indonesia itu menampilkan karyanya dan karya-karya komponis Selandia Baru.

Dua saksofon berbeda ukuran itu menyuarakan bunyi seperti orang berselisih. Yang satu melengking merepet, sementara yang satu menimpali dengan bebunyian bernada rendah. Pada akhirnya, keduanya mengeluarkan bebunyian sember, pendek-pendek dan dengan tekanan. Seperti mencapai kesepakatan.

Komposisi itu berjudul Selisih, dibawakan dua saksofonis, yaitu Daniela Wahler dan Markus Rombagh. "Saya membuat situasi-situasi dialog antarmanusia," kata penulis komposisi itu, Dieter Mack, 55 tahun, di Teater Salihara, Minggu malam. Pada komposisi Selisih, Mack memang mengedepankan aspek dialog, dengan memasukkan karakter 'berbicara' padanya. Meski, tentu saja, tidak ada teks atau isi dari komposisi itu. Semuanya musikal.

Selisih Ensemble adalah ansambel dari Jerman yang dikomandani Dieter Mack, komponis yang pernah lama tinggal, belajar, dan mengajar di Indonesia. Wahler dan Rombagh pertama kali memainkan komposisi Selisih pada 2004. Mereka lalu memakai judul karya itu sebagai identitas. Tak lama, bergabunglah flutist, Elizabeth Farrell, dan pianis, Mathias Trapp, menjadikan kelompok musisi asal Freiburg itu sebagai kuartet.

Malam itu Selisih Ensemble banyak membawakan karya-karya komponis Selandia Baru. Perjalanan ke Jakarta ini memang perjalanan mampir untuk konser mereka di Selandia Baru. Nomor pembuka adalah Twitter, karya komposer muda Selandia Baru, Robin Toan.

Twitter terdiri atas tiga movement. Ini adalah tafsir Robin Toan terhadap bebunyian burung-burung di sebuah taman. Kuartet bermain lengkap, membuat berbagai bunyi dalam berbagai tingkat nada. Ada pengulangan pada saksofon soprano yang terdengar di seluruh movement. Dari celotehan singkat yang pendek-pendek dengan penekanan di movement pertama, berubah menjadi lagu-lagu panjang di movement kedua. Makin lama, paduan bunyi itu membentuk kunci-kunci nada di movement ketiga.

Ada pula komposisi Taurangi, karya Gillian Whitehead, komposer senior Selandia Baru. Kata Dieter Mack, sang komposer tertarik dengan kebudayaan Maori. Taurangi sendiri terpengaruh kejadian di Timor Timur dan kematian tokoh musikologi Selandia Baru, John Thompson. Komposisi itu, sesuai dengan arti kata Maori, Taurangi, yang berasosiasi dengan ketidakstabilan, penderitaan, ketidakjelasan, dan terdengar muram.

Nomor itu dibawakan oleh duet Mathias Trapp dan Elizabeth Farrell, pada piano dan flute. Kita mendengar alunan sedih nada disonan dari Farrell. Sang pianis memberi sentuhan nada-nada minor. Teknik kontemporer pianis, seperti menekan tuts piano dengan jemari, ditunjukkan. Ia juga menghambat bunyi tuts piano dengan semacam pengganjal. Di ujung komposisi ini, terdengar petikan sayup tuts piano, yang terdengar seperti harpa. Trapp menekan tuts-tuts piano bernada tinggi dengan jemarinya.

Nomor Quartet adalah karya komposer kelahiran Korea Selatan, Chang-soon Ryu, yang kini baru 26 tahun. Di Universitas Lubeck, Ryu mempelajari komposisi dengan pengajar Dieter Mack sendiri. Kata Mack, banyak sekali musisi Korea yang belajar ke Jerman. "Dari 20 pengambil studi komposisi, 10 dari Korea," kata Mack. Tapi Ryu berbeda dengan musisi Korea lain. Sebab ia memiliki basis pengetahuan tradisi musik Korea. Melalui Quartet, Ryu mengembangkan wawasan tradisinya dalam alat-alat musik modern.

Malam itu, Selisih Ensemble juga mempersembahkan Two Bells, karya Dylan Lardelli, komponis Selandia Baru yang terpengaruh tradisi teater Noh, Jepang. "Komposisi Dylan ini, kalau di Indonesia, seperti komposisi-komposisi Slamet Abdulsyukur yang memiliki konsep minimax," kata Mack. Maksudnya, Dylan mencoba menyusun komposisi dari bunyi yang sedemikian sederhana, namun mampu menghasilkan efek optimal. Menarik, karya itu tak sedikit pun menonjolkan salah satu dari empat musisi. Tak ada yang memimpin, tak ada solo. Keempatnya berbunyi pada 'tingkat' yang sama. Terdengar bunyi seperti ketukan dari piano yang beberapa tutsnya diganjal sehingga bunyinya 'buntu.'

IBNU RUSYDI

Koran Tempo Edisi 05 Agustus 2009

http://www.facebook.com/note.php?note_id=112065742938